Beranda / kesehatan / Mengulas Sistem Pengendalian Resistensi Antimikroba di Belanda: Pelajaran untuk Indonesia

Mengulas Sistem Pengendalian Resistensi Antimikroba di Belanda: Pelajaran untuk Indonesia

Share:

Mengulas Sistem Pengendalian Resistensi Antimikroba di Belanda: Pelajaran untuk Indonesia

By : Apt. Ismail
Presidium Nasional FIB

Belanda dikenal sebagai salah satu negara dengan strategi pengendalian resistensi antimikroba (AMR) terbaik di dunia. Pendekatan negara ini sangat holistik, mencakup regulasi komprehensif, akses dan distribusi antibiotik dengan integrasi praktik apoteker dalam sistem kesehatan menyeluruh. Jika dibandingkan dengan Indonesia, Belanda memberikan pelajaran penting tentang bagaimana pengendalian AMR seharusnya dilakukan. Namun, Indonesia tampaknya memilih pendekatan minimalis dengan hanya mewajibkan resep untuk antibiotik, tanpa membangun infrastruktur dan sistem pendukung komprehensif lain yang diperlukan.

1. Sistem di Belanda: Ketat, Terintegrasi, dan Efektif

Peran Apoteker sebagai Gatekeeper:

Di Belanda, akses antibiotik hanya dapat diperoleh di apotek (apotheek), diverifikasi dan dievalusai oleh apoteker (apotheeker) yang berpraktik. Apoteker memiliki kewenangan untuk hal tersebut dan memberikan edukasi tentang penggunaan antibiotik.

Apoteker tidak hanya berfungsi sebagai pelengkap administrasi, tetapi menjadi bagian penting dalam pengambilan keputusan klinis, memastikan setiap pasien mendapatkan antibiotik yang sesuai dan rasional.

Pendekatan Berbasis Bukti :

Penggunaan antibiotik di Belanda hampir selalu berbasis hasil uji laboratorium seperti kultur bakteri dan diperkuat peta antibiogram. Hal ini memastikan antibiotik yang diberikan benar-benar efektif terhadap infeksi, serta mempertimbangkan keselamatan pasien dari ketidaktepatan penggunaan antibiotik.

Regulasi Ketat dan Edukasi Publik:

Antibiotik tidak dijual di toko-toko umum atau tempat ilegal. Antibiotik hanya boleh berada di bawah kuasa dan diserahkan oleh Apoteker. Sistem distribusi sangat terkontrol, dengan pengawasan ketat terhadap setiap jalur distribusi.

Belanda juga aktif mengedukasi masyarakat tentang bahaya resistensi antibiotik, sehingga tingkat konsumsi antibiotik mereka termasuk yang terendah di Eropa.

2. Indonesia: Resep Wajib Tanpa Sistem Pendukung

Telaah kelemahan pendekatan Wajib Resep untuk akses antibiotik yang di kampanyekan di Indonesia yang tetap berpotensi terhadap terjadinya resistensi bagi masyarakat :

1. Antibiotik masih dapat diperoleh dan dijual bebas di tempat-tempat ilegal, seperti toko obat, pasar, warung kelontong, praktik tenaga medis dan tenaga kesehatan, atau bahkan online. Regulasi distribusi hampir tidak ada, jika ada penegakannya pada tempat-tempat ilegal nyaris tidak ada,

2. Tidak tersedia fasilitas diagnostik yang memadai untuk memastikan penggunaan antibiotik rasional dan berbasis bukti, sehingga mayoritas peresepan antibiotik di Indonesia dilakukan secara empiris yang juga dilakukan tanpa data antibiogram,

3. Secara regulasi, Apoteker di Indonesia hanya dikampanyekan sebagai pelengkap administrasi, tanpa keterlibatan nyata secara klinis dalam memastikan rasionalitas penggunaan antibiotik.

3. Apa yang Bisa Dipelajari Indonesia dari Belanda?

Empowering Apoteker :
Belanda memberikan contoh bagaimana apoteker difungsikan praktiknya sebagai penjaga utama dalam pengendalian antibiotik. Indonesia harusnya memanfaatkan apoteker secara maksimal, menjadikan mereka lebih dari sekadar penjaga di apotek.

Penyediaan Fasilitas Diagnostik :
Tanpa alat diagnostik seperti kultur bakteri, sulit bagi dokter atau apoteker untuk memastikan penggunaan antibiotik yang rasional. Indonesia harus memperluas akses ke fasilitas ini.

Regulasi Ketat dan Edukasi Publik :
Indonesia perlu belajar dari Belanda dalam mengimplementasikan pengawasan ketat terhadap distribusi antibiotik. Edukasi publik tentang resistensi antibiotik juga harus menjadi prioritas, dengan penekanan fokus akses antibiotik diperolehnya melalui sarana kefarmasian diserahkan oleh apoteker yang praktik.

4. Rekomendasi WHO: Acuan untuk Indonesia

WHO telah merekomendasikan pendekatan berbasis bukti untuk pengendalian AMR, termasuk:

● Mengintegrasikan fungsi tenaga kesehatan, khususnya apoteker dalam evaluasi serta pengawasan antibiotik.

● Memastikan ketersediaan dan akses ke fasilitas diagnostik yang memadai.

● Membatasi distribusi antibiotik, hanya bisa diakses pada sarana kefarmasian.

Kesimpulan: Pelajaran dari Belanda

Belanda telah membuktikan bahwa pengendalian resistensi antibiotik bukan hanya soal mewajibkan resep, tetapi membutuhkan sistem kolaborasi Kesehatan yang kuat, regulasi yang berpihak kepada masyarakat, dan ketersediaan infrastruktur kesehatan. Jika Indonesia terus mengabaikan aspek-aspek ini, kebijakan antibiotik wajib resep semata hanya akan menjadi solusi semu yang tidak mampu menahan laju resistensi antibiotik.

(Red)

Lihat Juga

Menyalahkan Apotek untuk Resistensi Antibiotik: Tuduhan Tanpa Cermin

Menyalahkan Apotek untuk Resistensi Antibiotik: Tuduhan Tanpa Cermin By: apt. Ismail Presidium Nasional FIB Ketika …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *