Beranda / JP News / Tanggapi Vonis 5 Tahun Penjara Bagi Penyalahgunaan Narkotika, Kuasa Hukum: Keputusan Majelis Hakim Terlalu Sempit

Tanggapi Vonis 5 Tahun Penjara Bagi Penyalahgunaan Narkotika, Kuasa Hukum: Keputusan Majelis Hakim Terlalu Sempit

Share:

Jejakprofil.Com – Secara kebijakan, Indonesia mempunyai opsi untuk memberikan rehabiltasi bagi Pengguna Narkotika dan seharusnya tidak selalu untuk dipenjara, hal ini dipertegas dengan frasa diwajibkan untuk direhabilitasi, sebagaimana tertuang dalam Pasal 54 Undang-Undang Narkotika (UU Nomor 35 Tahun 2009) yang menyebutkan Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Rabu, 29 Desember 2021, pengacara publik Aksi Keadilan Indonesia (AKSI) mendampingi seorang klien yang terjerat kasus narkotika di Pengadilan Negeri Kota Bogor dengan nomor perkara 275/Pid.Sus/2021/PN.Bgr. Agenda persidangan yang berlangsung adalah pembacaan putusan atau Vonis oleh Majelis Hakim, dalam putusannya Hakim menjatuhi vonis kepada klien kami yakni pidana penjara 5 tahun dan Pidana Denda sebesar Rp. 800.000.000 (delapan ratus juta) Subsidair 3 (tiga) bulan penjara.

Setelah sebelumnya Jaksa Penuntut Umum menuntut terdakwa dengan pidana penjara 5 tahun 6 bulan dan Pidana Denda sebesar Rp. 2. 000.000.000 (dua miliyar rupiah) Subsidair 6 (enam) bulan penjara (Pasal 112 (1) UU 35 tahun 2009 tentang Narkotika).

Menanggapi hal itu, Kuasa hukum Muhammad Irwan, SH. mengatakan bahwa keputusan Majelis Hakim terhadap vonis 5 penjara tersebut dinilai terlalu sempit dalam menjatuhi putusan terhadap kliennya, dimana Majelis Hakim menjadikan unsur menerima, dan menguasai narkotika dijadikan dasar untuk mempidanakan Klien.

“Kami menilai Majelis Hakim memiliki pandangan yang sangat sempit terhadap kasus narkotika yang dijadikan dasar untuk mempidanakan klien kami,” tegas Irwan dalam keterangan pers nya diterima Jejak Profil, Minggu (2/1/2022).

Menurut dia, dalam persidangan terang-terang disebut bahwa kliennya tertangkap pada saat mau menggunakan Shabu. “Padahal fakta persidangan terungkap jika klien kami tertangkap pada saat mau menggunakan shabu, jelas Secara Mens Rea (niat batin) klien kami menguasai shabu (untuk digunakan bagi dirinya sendiri), secara logika, bagaimana mungkin klien kami dapat menggunakan shabu tanpa harus menerima dan menguasai narkotika tersebut,” ungkap Irwan.

Sejalan dengan itu, Koordinator Bantuan Hukum Aksi Keadilan Indonesia (AKSI), Bambang Yulistyo meminta agar banding terhadap putusan tersebut diuji kembali oleh Majelis Hakim Tingkat Tinggi (Pengadilan Tinggi Bandung). Sebab, hal itu menurut AKSI, ada terdapat beberapa bukti yang seharusnya menguatkan posisi klien mereka untuk mendapatkan putusan rehabilitasi disamping putusan penjara.

“Kami meminta agar banding terhadap putusan tersebut diuji kembali oleh Majelis Hakim Tingkat Tinggi (Pengadilan Tinggi Bandung) karena terdapat beberapa bukti yang seharusnya menguatkan posisi klien kami untuk mendapatkan putusan rehabilitasi disamping putusan penjara,” pinta Bambang.

Salah satunya, kata Bambang, adalah proses asesmen terpadu yang dilakukan Badan Narkotika Nasional Kabupaten (BNNK) Bogor kepada kliennya yang dilakukan pada 11 Agustus 2021, Asesmen ini dilakukan berdasarkan Peraturan Bersama 2014 tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi yang ditandatangi oleh kepala 7 lembaga negara.

“Asesmen tersebut memberikan kesimpulan jika klien kami hanyalah pengguna narkotika ringan. Hal ini dapat dilihat dari barang bukti yang didapati dalam keterangan pemeriksaan Kepolisian, dimana klien kami memiliki narkotika (jenis Shabu) dibawah angka gramatur, yakni dengan berat netto 0,3491 gram,” jelasnya.

Jika melihat peraturan lainnya yakni Surat Edaran Mahkamah Agung No 4 tahun 2010, bahwa barang bukti klien kami masuk kedalam kategori narkotika di bawah gramatur, selain itu tidak ada fakta yang membuktikan bahwa Klien Kami terilibat dalam peredaran gelap narkotika.

Lebih lanjut, Bambang mengatakan jika putusan Majelis Hakim masih jauh dari rasa keadilan dan kemanusiaan, maka pihaknya akan segera mengambil langkah hukum lebih lanjut.

“Jika dilihat dari aturan World Health Organization (WHO), maka adiksi merupakan sebuah penyakit. Sayangnya, Aparat Penegak Hukum (APH) di Indonesia ini belum memiliki prespektif yang sama dalam memandang adiksi dan pengguna narkotika. Akibatnya, APH masih sering mengirimkan seseorang yang membutuhkan pertolongan medis ke dalam penjara dibanding layanan kesehatan. Meskipun penjara kita saat ini sedang mengalami overcrowding penjara yang sudah parah,” paparnya.

Atas putusan vonis tersebut, Aksi Keadilan Indonesia (AKSI) memohon kepada Pengadilan Negeri Kota Bogor Untuk:
1. Aparat Penegak Hukum kuhsusnya Lembaga Yudikatif dibawah lingkup Mahkamah Agung tidak lagi mudah menjatuhi vonis penjara terhadap tersangka pengguna narkotika maupun korban penyalahguna narkotika yang terjerat dalam pasal-pasal yang dianggap sebagai “pasal karet”. Sebab hal itu dapat melanggar hak asasi mereka yakni hak atas kesehatan.
2. Kami memohon Majelis Hakim Pengadilan Tinggi kedepannya dapat melihat fakta-fakta temuan dilapangan sebagaimana tertuang dalam dokumen-dokumen hukum yang sudah dilampirkan secara cermat. Sebab pengguna narkotika atau dalam hal ini klien kami merupakan seorang korban dari peredaran gelap narkotika.

(JP/Vero/Red)

Lihat Juga

DALAM RANGKA HUT KE-78 JALASENASTRI, LANTAMAL III MENDUKUNG LANGSUNG DALAM LOMBA LINGKUNGAN SEHAT

TNI AL – Dispenlantamal3. Sebagai rangkaian dalam rangka memperingati HUT ke-78 Jalasenastri, dalam hal ini …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *