jejakprofil.com – Banyak pihak paling merindukan langkah tegas dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polisi Republik Indonesia (Polri). Pasalnya, kedua instansi penegak hukum ini dinilai mampu memberantas kejahatan tindak pidana.
Terkait adanya tuntutan ringan Jaksa terhadap pelaku kejahatan penyiraman air keras kepada korban Novil Baswedan, Direktur Legal culture Institute ( LeCI), M Rizqi Azmi menilai penyidik kasus penyiraman air keras terhadap Novil Baswedan tidak menemui konklusi yang jelas dari KPK dan Polri.
“Dari awal penyidikan memang terkesan kasus ini di tarik ulur dan tidak menemui konklusi yang jelas dari KPK sendiri dan POLRI. Mulai dari pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta yang menggiring temuan bahwa ada problema sakit hati pelaku karena novel baswedan yang menggunakan kewenangan yang berlebihan ( excessive use of power) yang sebenarnya tidak relevan sampai akhirnya keluar tuntutan jaksa yang sangat minimalis 1 tahun dari ancaman hukum pidana penjara 7 tahun yang jauh dari delik kebenaran,” papar Rizqi dalam keterngannya diterima Jejakprofil.Com, Jumat (12/6/2020).
Terkait persoalan Hukum yang mendera Penyidik KPK Novel Baswedan, Rizqi mengaku pihaknya telah melakukan Kajian Hukum dan pantauan semenjak penyidikan yang dilakukan oleh Kepolisian.
“Kami pernah ikut serta dalam mendesak hadirnya Tim Pencari Fakta Independen yang tidak hanya mengikutsertakan aparat penegak hukum, Komnas HAM, NGO, Akademisi dan Tokoh masyarakat, namun diikuti juga Tim Pencari Fakta Internasional / Lembaga Anti Korupsi Internasional The United Nations Convention against Corruption (UNCAC) yang erat kaitannya dengan persoalan HAM dalam konteks pemberantasan korupsi,”pungkasnya.
“Karena kasus ini merupakan Upaya Penghalangan dengan Kekerasan terhadap petugas penegak Kebenaran oleh sesama aparat penegak hukum dalam mencari keadilan HAM dalam bungkus penyidik KPK pemberantas KORUPSI yang selama ini menyengsarakan rakyat dan menjadi instrumen pelanggaran HAM terbesar berabad-abad lamanya,” jelas Rizqi)
Oleh karena itu, lanjut Rizqi, Tuntutan Jaksa yang menggunakan Pasal 353 ayat (2) tentang penganiayaan yang menyebabkan luka berat dan pasal 55 ayat (1) tentang turut serta pelaku serta hanya membuktikan Dakwaan Subsider tidaklah tepat dan terkesan tidak menggali kebenaran materil yang seharusnya di perjuangkan oleh seorang jaksa pembela kebenaran hakiki terhadap seorang korban tindak pidana apalagi korbannya adalah orang yang luar biasa karena tugasnya sebagai penyidik KPK pemberantas korupsi sebagai ” extra ordinary Crime” sehingga kerja-kerja Jaksa juga harus ” Extra Effort Law Enforcement”
“Jaksa bisa menggunakan Pasal-pasal ampuh seperti pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana sesuai dengan actus reus ( kejadian sebenarnya) dan mens rea dengan pengakuan kesengajaan oleh pelaku. dengan ancaman hukuman mati atau seumur hidup 20 tahun penjara karena dan pasal 21 UU Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 221 ayat 1 dan 2 KUHP terkait menghalangi penyidikan dengan ancaman 12 tahun penjara dan denda 600 jt karena sewaktu itu banyak kasus-kasus istimewa yang ditangani novel seperti lapor merah kepolisian, korupsi E-KTP, korupsi akil muchtar dll.Kemudian tentang Pelanggaran HAM bisa di pakai oleh jaksa sebagai instrumen ampuh ditengah pekerjaan krusial novel yang tidak hanya sebagai pendekar anti korupsi juga sebagai Penegak HAM,” terangnya.
Lebih lanjut, pakar hukum ini mengutarkan, sejatinya Jaksa bisa mengejar Delik pemidanaan sesuai Actus Reus ( kejahatan yang dilakukan) dan Mens Rea ( Sikap Batin Pelaku). Actus Reus, kata Rizqi, tidak boleh di alihkan karena ketidak sengajaan seperti penyangkalan jaksa terhadap pasal 355 tentang penganiayaan berat yang memenuhi unsur kesengajaan dan bisa beralih kepada pasal 340 tentang pembunuhan berencana.
“Karena Rahmat dari awal sudah dengan sadar mengambil Air Keras yang notabene itu adalah aset negara dari gudang milik Polri dan melancarkan aksi bersama Roni sesuai pemetaan dan menyiramkan sehingga maknanya bukan memberi pelajaran seperti yang di ungkap jaksa,”lontar Rizqi.
Menurut Rizqi, sebenarnya Actus Reus menyiramkan ke sekujur tubuh untuk melumpuhkan dan selanjutnya barulah menggali Mens Rea ( Sikap Batin) sebagai penggalian Dolus ( kesalahan yang di sengaja) dan Culpa ( kesalahan yang tidak di sengaja). Namun, tambah dia, dengan pernyataan jaksa, bahwasanya si pelaku hanya ingin memberi pelajaran kepada novel dan sikap batin sakit hati, maka hal itu tidak sinkron dengan Actus Reus pada kejadian sebenarnya.
“Ini seolah-olah Dolus di arahkan ke pada Culpa sebagai bentuk ketidak sengajaan padahal kalau kita runut dalam KUHP kejadian pada pasal 353 tidak masuk dalam ruang Culpa. Di tambah lagi jaksa mempertimbangkan sesuatu hal yang tidak relevan. Misalkan kelakuan baik di persidangan dan pengabdian 10 tahun si pelaku. Pertimbangan itu seharusnya dibalik karena mereka ( Pelaku) adalah Polisi sebagai aparat penegak maka hukumannya harus di perberat dan tidak ada alasan pemaaf,” ulasnya.
Ia mengatakan, hal ini sejatinya dapat dipahami oleh jaksa dan hakim bahwa
delik pidana sebagai unsur subyektif yang apabila terbukti maka terbuktilah pertanggung-jawaban pembuat delik.
“Unsur-unsurnya adalah kemampuan bertanggungjawab, kesalahan dalam arti luas (dolus dan culpa lata), tidak adanya alasan pemaaf (veronstschuldingsgrond) yang semuanya melahirkan schuld-haftigkeit uber den tater yaitu hal dapat dipidananya pembuat delik. Begitupun dalam kasus ini harus di pastikan pertanggungjawaban pidana, hubungan kejiwaan dan bentuk kesalahannya ( Schuld),”jelasnya.
Ia juga mengatakan bahwa kasus ini merupakan Triger pengungkapan kasus besar.Oleh karena itu tidak mungkin si pelaku mempunyai motif pribadi dan ini yang harus di gali dari mens rea atau sikap batin pelaku yang berkemungkinan di pengaruhi atau diarahkan oleh seseorang atau sekelompok kepentingan untuk mendasari aksinya.
“Dari sinilah baru bisa di runut Pasal 55 tentang turut serta yang pada ujungnya di pengadilan akan mencari kebenaran dan menemukan intelektual dader yang menjadi ” man behind the gun” atau sutradara sebenarnya,” ungkap dia.
Lebih lanjut lagi, pria berdarah Minang ini berharap agar hukum tetap dianggap sebagai panglima sesuai amanah Konstitusi Kita dan apabila konsensus ini runtuh diakibatkan ketidakadilan di meja hijau maka jangan harap akan adanya ketenangan dalam berbangsa dan bernegara. Di saat pemberantas korupsi di halangi dengan teror dan penganiayaan maka kiranya tidaklah setimpal dengan hukuman para koruptor minimalis atau penjegal/penghalang seperti pelaku penyiraman yang di hukum 1 tahun.
“kita berharap kepada penemuan Hukum (RechtsVinding), Hakim untuk memutuskan kasus ini seadil-adilnya dengan hati nurani dan mata batin sebagai “Utusan Keadilan” dan memulihkan kepercayaan Rakyat terhadap penegakan Hukum,” tutupnya.
(Arum)