Tangerang, Jejakprofil – Bau busuk proyek PSEL Kota Tangerang mulai menyengat. Demikian yang tersirat dari rentetan data yang diterima dari menggunungnya sampah TPA Rawa Kucing.
Proyek Strategis Nasional (PSN) Pembangunan dan Pengoperasian Fasilitas Pengolahan Sampah Terpadu Ramah Lingkungan (PSEL) Kota Tangerang di TPA Rawa Kucing yang sejak awal digadang-gadang sebagai solusi krisis sampah, justru menyisakan jejak kejanggalan.
Dari proses tender hingga addendum perjanjian kerja sama, perubahan dokumen yang inkonsisten memunculkan dugaan maladministrasi serius.
Hasil investigasi yang didapat pun memunculkan kejanggalan, hal ini bisa diurai dari rentetan kecurigaan yang mulai mengemuka dari bau busuk sampah di TPA Rawa Kucing.
Tender Menang, Aturan Berubah:
Dokumen lelang yang diterbitkan Pemkot Tangerang pada 2019 mematok skema biaya layanan pengolahan sampah (Biaya Layanan Pengolahan Sampah/BLPS) dengan angka jelas: Rp95.000/ton untuk tahap I dan Rp320.000/ton untuk tahap II.
Namun, setelah konsorsium Oligo Partner ditetapkan sebagai pemenang pada 31 Maret 2020, angka itu berangsur berubah.
Dalam proposal Oligo, BLPS tahap I turun menjadi Rp85.000/ton, tahap II Rp315.000/ton.
Tapi dalam PKS 9 Maret 2022, BLPS tahap I tiba-tiba dihapus (Rp0), sementara tahap II ditetapkan Rp310.000/ton. Skema ini kembali ditegaskan dalam Addendum I (Oktober 2023) dan Addendum II (Februari 2024).
Artinya, komitmen awal yang tercantum dalam dokumen lelang lenyap tanpa penjelasan transparan. Publik pantas bertanya: mengapa angka bisa bergeser drastis setelah pemenang ditentukan?

PLT Biogas Hilang dalam Perjalanan
Kejanggalan tidak berhenti di BLPS. Proposal awal Oligo menyebut rencana pembangunan PLT Biogas (9,1 MW) dan PLT RDF (23 MW), dengan harga listrik 13,35 cent/kWh sesuai Perpres 35/2018.
Namun, evaluasi PLN pada 7 Juni 2023 menolak studi kelayakan itu dengan alasan PLT Biogas tidak sesuai amanat Perpres.
Anehnya, bukannya memperbaiki sesuai dokumen awal, Oligo justru menghapus komponen PLT Biogas.
Pada 18 Januari 2024, studi interkoneksi dinyatakan lulus dengan spesifikasi baru: hanya ada pembangkit listrik 40 MW berbasis RDF dengan harga listrik yang lebih rendah, 11,5 cent/kWh.
Perubahan spesifikasi teknis setelah lelang memperlihatkan indikasi bahwa proposal awal sekadar formalitas untuk memenangkan tender, sementara pelaksanaan riil bergeser sesuai kepentingan investor.
Beban Bergeser, Publik Bisa Menanggung
Awalnya, kewajiban besar ada pada Pemkot Tangerang, termasuk pemeliharaan infrastruktur eksisting dan pembiayaan BLPS tahap I dan II.
Namun, dalam dokumen-dokumen lanjutan, kewajiban Pemkot mengecil, sementara beban lebih banyak ditimpakan kepada BUP (Oligo).
Bahkan, dalam addendum terakhir, tercantum bahwa BUP akan meminta bantuan pemerintah pusat untuk menutupi kebutuhan biaya.
Dengan kata lain, ada pergeseran risiko keuangan dari Pemkot ke pusat. Padahal proyek ini statusnya PSN, yang seharusnya memberi solusi, bukan menambah beban fiskal nasional.
Kronologi Mengundang Tanda Tanya:
- Juli 2019 – Tahap RFP dokumen lelang dimulai.
- 31 Maret 2020 – Konsorsium Oligo Partner ditetapkan pemenang.
- 9 Maret 2022 – PKS ditandatangani, BLPS tahap I dihapus.
- 7 Juni 2023 – PLN menolak studi kelayakan Oligo.
- 9 Oktober 2023 – Addendum I ditandatangani.
- 18 Januari 2024 – Studi interkoneksi dinyatakan lulus setelah PLT Biogas dihapus.
- 7 Februari 2024 – Harga listrik disepakati 11,5 cent.12 Februari 2024 – Addendum II diajukan, menguatkan skema baru.
Perubahan-perubahan inilah yang kini menjadi sorotan.
Indikasi Maladministrasi:
Dari kronologi tersebut, muncul indikasi adanya maladministrasi:
1. Inkonsistensi dokumen antara lelang, proposal, PKS, dan addendum.
2. Perubahan substansi teknis setelah penetapan pemenang tender.
3. Penghapusan kewajiban Pemkot yang dialihkan ke pusat tanpa mekanisme transparan.
4. Potensi konflik kepentingan karena perubahan kebijakan lebih menguntungkan investor dibanding Pemkot atau masyarakat.
Publik Menanti Audit Independen:
Dengan nilai investasi yang besar dan status sebagai Proyek Strategis Nasional, publik berhak mendapatkan transparansi penuh.
Tanpa audit independen, proyek ini berisiko menjadi “bom waktu” pengelolaan sampah dan keuangan negara, alih-alih solusi ramah lingkungan yang dijanjikan.
Pertanyaan yang muncul, siapa yang dirugikan atas konsekuensi proyek PSEL Kota Tangerang ini.
Siapa pula yang bermain dan mendapat keuntungan dari tumpukan dan bau sampah proyek itu.
Pihak pemenang tender? atau sebaliknya Pemkot Tangerang? atau ada oknum yang mencoba bermain api di balik riuhnya polemik TPA Rawa Kucing.