JAKARTA – Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) Yayasan Karya Cipta Indonesia (YKCI), pada 12 Juni 2025, tepat berusia 35 tahun. Sudah tiga dekade lebih, YKCI membagikan royalti kepada para pencipta lagu yang telah memberikan kuasanya.
Hari jadi YKCI ke 35 dirayakan dengan memberikan reward atau apresiasi kepada Big Ten Royalty KCI yang diterima langsung oleh si pencipta lagu itu sendiri dan/atau ahli warisnya.
Mereka adalah berturut-turut dari urutan ke 10, keluarga Ismail Marzuki, Slamet Adriyadie (pencipta lagu Widuri), Benny Panjaitan, Eko Saky, Bartje Van Houten, Is Haryanto, Ebiet G Ade, A. Riyanto, dan diurutan kedua terbesar dan pertama didapatkan oleh Obbie Messakh dan Pance Pondaag. Acara itu digelar pada hari Kamis, 19 Juni 2025, di Cerita Rasa Resto Ampera, Jakarta Selatan itu dihadiri oleh insan pencipta lagu dan pengusaha industri musik tanah air.
Bung Enteng Tanamal (BET), Ketua Dewan Pembina YKCI dalam sambutannya mengatakan pelaku industri musik baik sebagai musisi maupun pengusaha, adalah tokoh sentral dibalik lahirnya LMK-LMK yang saat ini berjumlah lebih kurang 16 LMK.
“Tahun 50-60 an itu banyak seniman musik, tapi sedikit yang punya kesempatan masuk ke industrinya. Saya termasuk yang beruntung bisa masuk industri musik saat itu,” ujar Enteng mengawali ceritanya. “Dan, setelah menjadi pengusaha, saya melihat yang paling kasihan itu ya pencipta lagu. Mereka hanya dibayar sekali dan dihargai murah sekai. Jual putus pula. Sementara penyanyi, pemain musiknya, menerima jauh lebih besar dan bisa berkali-kali mereka dapat,” lanjutnya.
Kegelisahan Enteng melihat nasib para pencipta lagu, terus berlanjut. Hingga suatu saat sebagai pengusaha Enteng mendapatkan kesempatan hadir di Yamaha Festival Tokyo, tahun 1987. Saat itu, Yopie Latul, artis yang dibina Enteng, tampil diacara itu membawakan lagu karya Guruh Soekarnoputra, berjudul Kembalikan Baliku.
Di Tokyo, Enteng melihat satu situasi yang sangat berbeda dengan nasib pencipta lagu di Indonesia. Di Tokyo, para pencipta lagu bisa hidup bergelimang harta, mereka sangat dihargai.
Rasa ingin tahu Enteng mengarahkannya bertemu dengan asosiasi di Jepang yang kompeten mengurus royalti para pencipta lagu. Dari Tokyo, Enteng berkirim surat ke Singapore dan diarahkan untuk melakukan komunikasi dengan BUMA STEMRA (Anggota Komite Asia Pasifik CISAC), karena Indonesia, sebelum merdeka, tercatat di bawah naungan Belanda. Dan Belanda, diwakili Meneer Ger Willemsen, senang sekali ketika Enteng mengutarakan niatnya untuk bisa mensejahterakan para pencipta lagu.
CISAC (Confederation Of Societies Of Authors and Composers), didirikan tahun 1926, organisasi non pemerintah dan nir-laba dengan kantor pusat di Prancis dan kantor regional di Afrika, Amerika Selatan (Chili), Asia-Pasifik (Tiongkok), dan Eropa (Hunggaria). Menurut cisac.org., saat ini CISAC beranggotakan 228 lebih perhimpunan anggota di lebih dari 111 negara yang mewakili 5 juta kreator dari semua wilayah geografis dan semua repertoar artistik, musik, sastra, dan seni visual.
Saat ini CISAC dipimpin oleh penulis lagu, musisi, penyanyi, gitaris, produser Swedia dan anggota group musik ABBA Swedia, Bjorn Ulveus. CISAC melindungi hak dan mempromosikan kepentingan kreator di seluruh dunia.
Pada tahun 1991, KCI diterima sebagai anggota CISAC ke 109, dan diberikan kuasa melalui Reciprocal Agreement untuk mengelola seluruh lagu asing di Indonesia yang berkaitan dengan Hak Mengumumkan (Performing Rights).
Sampai dengan usia KCI memasuki ke 35 tahun, tercatat 2400 pencipta lagu yang sudah memberikan kuasanya kepada KCI untuk mengurus royalti performing rights. Youngki RM, pencipta lagu Sepatu Dari Kulit Rusa, merasakan betul manfaat ekonomi dengan hadirnya KCI.
“Aku masih terus menciptakan lagu. Tapi, saat ini sudah tidak ada lagi produser rekaman yang antusiasnya seperti dulu, seperti jaman industri Glodok. Alhamdulillah ada KCI. Sehingga meski jualan lagu sulit, masih ada harapan hidup dari royalti yang diberikan KCI,” ujarnya.
Lanjutnya, “Dulu, lagu saya dibeli murah,” timpal Obbie Messakh yang masuk dalam nominasi penerima royalti terbesar kedua dari 10 dan sebagai penerima royalti terbesar KCI dalam kurun waktu terakhir ini.
Acara yang digelar cukup meriah dan dipandu Vien Is Haryanto, selain dihadiri para pencipta lagu, hadir pula Ketua LMKN (Lembaga Manajemen Kolektif Nasional), Darma Oratmangun dan jajarannya, juga Candra Darusman, musisi yang pernah menjadi general manager KCI selama satu dekade di periode awal KCI berdiri.
Dalam kesempatan itu hadir pula perwakilan WAMI (Wahana Musik Indonesia), LMK yang lahir kemudian. Untuk diketahui, WAMI adalah LMK kedua, yang lahir setelah KCI. WAMI saat ini dipimpin Adi Adrian (Adi Kla) sebagai Presiden Director. Managing Director WAMI, Suseno, mewakili LMK WAMI berkesempatan memberikan apresiasi khusus kepada Bung Enteng Tanamal.
Menurut Suseno ada beberapa hal yang mendasari WAMI memberikan penghargaan khusus kepada KCI dan BET dihari jadi KCI ke 35.
“KCI itu LMK pertama, pelopor performing rigt collection untuk kepentingan pencipta di Indonesia. Hubungan sejarah antara KCI dan WAMI sangat kuat. Beberapa staff WAMI adalah ex karyawan KCI. Artinya pernah digembleng di KCI. Bung Enteng sendiri adalah tokoh performing right di Indonesia yang sangat dihormati, tidak terkecuali oleh WAMI sendiri,” ujar Suseno.
WAMI berharap, KCI dan WAMI bisa menjadi penggerak pengkoleksian performing right yang lebih baik dimasa depan,” harapnya.
(Red)