Oleh: Apt. Ismail
Presidium Nasional Farmasis Indonesia Bersatu (FIB)
Apotek, sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023, adalah bagian integral dari sistem pelayanan kesehatan. Ia tidak hanya berfungsi sebagai tempat distribusi obat, melainkan sebagai wahana praktik profesional tenaga kefarmasian—terutama apoteker—yang menjamin mutu, keamanan, dan rasionalitas penggunaan obat. Dalam skema pelayanan yang komprehensif, apotek dapat berdiri secara mandiri maupun menjadi bagian dari fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama atau lanjutan.
Dalam semangat pemerataan akses layanan kesehatan, Program Apotek Desa yang diinisiasi oleh pemerintah melalui Koperasi Merah Putih patut diapresiasi. Program ini merupakan upaya konkret untuk mendekatkan layanan kefarmasian bermutu ke pelosok desa. Dalam konteks ini, kehadiran apoteker sebagai tenaga kesehatan profesional bukan sekadar pelengkap, melainkan elemen esensial yang menjamin keberlangsungan dan integritas pelayanan farmasi.
Namun, munculnya wacana Apotek Plasma sebagai nomenklatur baru dalam program Apotek Desa justru menimbulkan pertanyaan mendasar terkait arah kebijakan. Gagasan ini mengusulkan unit-unit apotek kecil yang disebut “plasma”, dipimpin oleh tenaga vokasi farmasi, dengan satu apotek inti di bawah pengawasan apoteker. Secara konseptual, skema ini mengaburkan garis batas antara peran profesional dan peran teknis, yang selama ini diatur secara ketat oleh regulasi kesehatan nasional maupun etika profesi kefarmasian.
Lebih jauh, usulan ini mengandung sejumlah kerancuan struktural yang berpotensi mengganggu kualitas pelayanan. Pertama, ia memperlemah prinsip akuntabilitas profesi dalam pemberian layanan kesehatan. Kedua, ia menciptakan hierarki semu yang justru bisa menjadi celah praktik non-profesional dalam pelayanan obat. Ketiga, skema ini berisiko menurunkan standar mutu pelayanan kefarmasian di level akar rumput, justru pada saat masyarakat pedesaan membutuhkan jaminan layanan yang lebih tinggi.
Tidak dapat dipungkiri bahwa penguatan peran tenaga vokasi sangat penting dalam mendukung sistem kesehatan nasional. Namun, peran tersebut tidak semestinya dimanipulasi menjadi penanggung jawab utama pada ranah yang secara hukum dan etika menjadi domain profesi apoteker. Apotek bukan sekadar fasilitas distribusi; ia adalah institusi profesional yang memerlukan penanggung jawab dengan kompetensi klinis dan etik yang mumpuni.
Apotek Plasma, dalam bentuk dan konsep yang diusulkan, tidak hanya berjarak dari prinsip-prinsip tata kelola pelayanan kefarmasian yang baik, tetapi juga menyiratkan potensi distorsi terhadap arah pembangunan kesehatan nasional yang berbasis kualitas dan integritas. Dalam konteks inilah, kami menyatakan bahwa gagasan Apotek Plasma, sebagaimana diusulkan, tidak layak untuk diimplementasikan.
Justru yang dibutuhkan saat ini adalah penguatan peran apoteker dalam program Apotek Desa, dengan dukungan regulasi yang konsisten, sumber daya yang memadai, dan penghargaan yang proporsional terhadap kompetensi profesional. Hanya melalui langkah-langkah tersebut, pelayanan kefarmasian di tingkat desa dapat menjadi pilar yang kokoh dalam sistem kesehatan nasional yang adil dan bermutu.
(Red)