Jakarta, 24 April 2025 — Presidium Farmasis Indonesia Bersatu (FIB) menyampaikan penolakan tegas terhadap wacana penerapan Rekognisi Pembelajaran Lampau (RPL) sebagai dasar penyelenggaraan pendidikan profesi apoteker yang dipermudah bagi lulusan Sarjana Farmasi ber-STR Vokasi. Kebijakan ini dinilai sebagai solusi kosmetik yang mengaburkan batas antara pendidikan vokasional dan profesional, serta berpotensi merusak tatanan etik dan integritas regulasi kefarmasian nasional.
Sejak disahkannya Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023, muncul dorongan untuk memberikan jalur percepatan pendidikan profesi apoteker melalui program profesi apoteker secara reguler. Pendekatan melalui mekanisme RPL, dipandang menyederhanakan proses profesionalisme apoteker, dengan mengabaikan prinsip kompetensi, tanggung jawab etik, dan kualitas lulusan.
“Pendidikan profesi bukan sekadar pengakuan administratif atas pengalaman. Ia adalah proses pembentukan integritas profesi. Pendekatan RPL dalam konteks ini sangat tidak tepat dan justru akan menciptakan disorientasi kebijakan yang berisiko pada layanan kefarmasian nasional. Konstruksi pengalaman kerja, tidak serta merta menjadi tolok ukur jembatan untuk menjadi penyamaan teknisi menjadi profesi dengan tanggung jawab yang berbeda.” tegas perwakilan Presidium FIB.
Usulan Konstruktif dari Presidium FIB
Menanggapi dinamika ini, FIB mengajukan tujuh usulan strategis sebagai bentuk kontribusi konstruktif terhadap kebijakan pendidikan profesi apoteker:
1. *Tidak Menarik Jalur Pendidikan Profesi Apoteker ke dalam RPL* – Pendidikan profesi harus berdiri sebagai jalur pembentukan profesional yang utuh, berasal dari jenjang akademis sarjana secara reguler sebagai wahana pembentukan profesional yang matang, bukan diakomodasi melalui skema rekognisi.
2. *Penyusunan Kurikulum oleh Praktisi* – Kurikulum program profesi yang harus melibatkan praktisi secara maksimal, demi memastikan kesesuaian dengan kebutuhan di lapangan.
3. *Pendampingan & _evidence real base case_ profesional* – Peserta wajib menjalani pendampingan selama 6 bulan oleh apoteker senior, dengan pelaporan rutin yang diakui sebagai kegiatan pembelajaran ber-SKP dengan orientasi pada _evidence real case_ hingga ada goal terhadap kasus tersebut.
4. *Database Peserta Terverifikasi* – Program harus diawali dengan pendataan peserta yang layak secara akademik dan administratif, bukan asal membuka program studi, untuk menampung para sarjana farmasi sebelum era UU Kesehatan 17/2023 disahkan.
5. *Pengawasan dan Audit Ketat* – Pelibatan semua pemangku kepentingan dalam pengawasan dan evaluasi program mutlak diperlukan.
6. *Batas Waktu Pelaksanaan* – Program hanya dijalankan dalam periode tertentu, misalnya 3–5 tahun, dan tidak menjadi kebijakan permanen.
7. *Peserta Hanya dari Sarjana Akademik* – Program ini tidak dibuka untuk lulusan Sarjana Terapan (D4), guna menjaga konsistensi jalur profesional. Karena jenjang linear profesional apoteker berasal dari sarjana akademis S1 Farmasi dengan karakter kurikulum yang dirancang menuju profesional.
*Format Pendidikan Alternatif untuk Profesi Apoteker di masa depan*
FIB merekomendasikan pola pendidikan “khusus” berbasis praktik (90%) dengan pendekatan _hospital-based education_ sebagai opsi rasional dan efisien. Peserta tetap wajib mengikuti Uji Kompetensi Nasional dengan metode dan standar yang sama seperti peserta didik program profesi apoteker reguler. Dalam skema ini, beban biaya pendidikan dapat ditekan karena kegiatan belajar terintegrasi dengan tempat praktik.
*Penolakan Meluas dari Komunitas Apoteker*
Data informal dari berbagai forum grup diskusi apoteker menunjukkan bahwa lebih dari 80% responden menolak penyelenggaraan pendidikan profesi yang dipermudah melalui RPL.
Selain itu, tidak semua sarjana farmasi ber-str tenaga vokasi —terutama ASN—berminat menjadi apoteker. Banyak dari mereka merasa cukup pada peran teknis karena beban tanggung jawab yang lebih ringan.
FIB menilai bahwa pendidikan profesi tidak bisa dijadikan instrumen rekayasa administratif untuk memperpanjang Surat Izin Praktik (SIP) teknis atau semata-mata menaikkan status. Jika RPL digunakan dalam konteks jenjang vokasional, hal ini semestinya bersifat terminal sebagai tenaga keteknisan. Namun penerapannya di masa lalu, secara etik dan filosofis dalam jalur apoteker adalah bentuk penyimpangan kebijakan yang mendalam.
*Penegasan Sikap*
Presidium FIB menyerukan agar pemerintah dan institusi pendidikan tinggi kefarmasian tidak menjadikan RPL sebagai celah kebijakan yang merusak sistem profesi apoteker. Pendidikan profesi apoteker harus tetap dijaga sebagai gerbang pembentukan kompetensi dan etik profesi yang utuh.
“Jika kualitas layanan kefarmasian di Indonesia benar-benar ingin diperkuat, maka jalur profesi tidak boleh diobral. Justru semestinya, memprioritaskan mencetak apoteker yang unggul, untuk pelayanan kefarmasian dan obat-obatan yang bermutu nyata bagi masyarakat” tutup pernyataan resmi FIB.
(Red/Slamet)