Jakarta – jejakprofil.com – Kementerian Koperasi dan UKM (KemenKopUKM) meyakini, usulan penerapan Innovative Credit Scoring (ICS) semakin mendorong terbukanya akses penyaluran kredit terhadap UMKM yang juga diharapkan bisa diimplementasikan secara mandatory dengan metodologi yang seragam khusus pada progam Kredit Usaha Rakyat (KUR).
Keyakinan tersebut, berdasarkan hasil pilot project yang dilakukan KemenKopUKM dengan menggunakan 72.004 data kredit produktif. Dan hasilnya, tingkat persetujuan kredit bertambah 5 persen, dengan tingkat risiko kredit macet atau Non Performing Loan (NPL) tetap terjaga pada nilai yang sama dengan skoring data konvensional, yaitu antara 0,6-0,7 persen.
“Artinya lembaga keuangan dapat meningkatkan penyaluran kredit dengan tingkat risiko yang tetap aman,” ucap Deputi Bidang Usaha Mikro KemenKopUKM Yulius dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (19/9/2024).
Credit Scoring merupakan sistem penilaian terhadap kemampuan seseorang dalam membayar kewajiban pinjamannya yang dilakukan oleh Lembaga Penilaian Kredit. Hal ini, bukan merupakan hal baru di bidang perkreditan.
Yulius menegaskan, salah satu masalah utama yang dihadapi UMKM adalah kesulitan mendapatkan pembiayaan dari lembaga keuangan formal.
Hal ini terjadi karena UMKM sering kali tidak memenuhi syarat penilaian kelayakan kredit, seperti persyaratan agunan tambahan dan persyaratan memiliki riwayat kredit sebelumnya. Untuk mengatasi masalah ini, KemenKopUKM pun mengusulkan penggunaan ICS.
Pada awalnya credit scoring hanya menggunakan data konvensional, seperti data identitas, data biro kredit dan data perbankan.
Namun dalam perkembangannya data tersebut tidak cukup untuk dijadikan penilaian, karena masih terdapat UMKM yang sebenarnya layak, namun tidak memperoleh kredit.
“ICS yang kami usulkan menggunakan dimensi data alternatif. Seperti data telekomunikasi, BPJS (jaminan sosial), penggunaan listrik, transaksi e-commerce, dan lainnya, sehingga lebih menunjukan kondisi sebenarnya calon debitur UMKM. Data-data tersebut diproses menggunakan Artificial Intelligence (AI) dan Machine Learning (ML),” katanya.
Yulius juga menyampaikan, progress yang sudah dilakukan sampai saat ini, Menteri Koperasi dan UKM (MenKopUKM) Teten Masduki telah melakukan audiensi dengan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani pada 11 Juli 2024, di Kantor Kementerian Keuangan.
“Dan Menkeu merespons positif serta mendukung inisiasi penerapan ICS,” ujarnya.
Tak hanya itu, MenKopUKM juga telah melakukan audiensi dengan Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar pada 30 Juli 2024, di Kantor OJK. Ketua OJK menyatakan setuju serta mendukung inisiasi penerapan ICS.
Terakhir, MenKopUKM juga telah melakukan audiensi dengan Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian Airlangga Hartanto pada 12 September 2024, di Kantor Kemenko Ekonomi. Dan Menko Airlangga turut mendukung inisiasi penerapan ICS.
“Kami mengusulkan ICS untuk diterapkan secara mandatory dan dengan metodologi yang seragam khusus pada progam KUR, dengan beberapa pertimbangan,” ucapnya.
Apalagi KUR adalah program yang dikembangkan pemerintah untuk pemberdayaan UMKM, sehingga pemerintah memiliki kewenangan penuh dalam menentukan syarat dan mekanisme penyaluran KUR.
“Pemerintah dapat mengarahkan Bank Penyalur KUR untuk menggunakan ICS sebagai alat utama untuk penilaian kelayakan kredit UMKM,” ujar Yulius.
Ia mengatakan, dengan menerapkan ICS, Pemerintah dan bank penyalur KUR dapat lebih prediktif dalam menilai kemampuan UMKM untuk membayar kewajiban pinjamannya, sehingga dapat membantu menjaga tingkat NPL.
ICS kata Yulius, dapat mempermudah persyaratan proses pengajuan KUR, karena tidak banyak memerlukan dokumen tambahan, sekaligus mempercepat proses penyaluran KUR.
Menurutnya, dengan menerapkan ICS yang menggunakan data alternatif, UMKM yang sebelumnya tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan KUR.
“Khususnya UMKM yang tidak memiliki riwayat kredit dan agunan tambahan, kini berpotensi untuk meningkat skor kreditnya dan disetujui, sehingga, ICS diharapkan dapat digunakan sebagai pengganti agunan tambahan pada program KUR,” ujarnya.
Diungkapkannya, sudah ada beberapa Bank penyalur KUR, seperti Himbara (Himpunan Bank Milik Negara) dan beberapa BPD (Bank Pembangunan Daerah) sudah menerapkan sistem ICS.
“Terdapat 10 perusahaan ICS yang terdaftar di OJK. Namun belum ada yang bekerja sama dengan lembaga keuangan penyalur KUR. Sebagian besar perusahaan ICS bekerja sama dengan bank swasta, multifinance dan fintech,” katanya.
Yulius menegaskan, jika ICS ini bisa diterapkan, maka dapat mendorong percepatan akses pembiayaan UMKM dan kebutuhan pembiayaan UMKM dapat dipenuhi, sehingga menggerakan perekonomian rakyat.
“Dari 64 juta pelaku UMKM, baru sekitar 30 persen UMKM yang bankable. Sementara, kredit UMKM di perbankan yang ditargetkan mencapai 30 persen baru mencapai sekitar 20 persen. Ini menjadi tantangan yang luar biasa,” katanya.
Senada dengan hal tersebut, Asisten Deputi Pembiayaan Usaha Mikro KemenKopUKM Irene Swa Suryani mengatakan, selama ini data historis di SLIK (Sistem Layanan Informasi Keuangan) OJK belum terhubung dengan data alternatif lain. Sehingga UMKM yang belum pernah meminjam ke lembaga pembiayaan tidak mempunyai catatan historis kredit.
“Padahal belum terdapat di SLIK bukan berarti UMKM tidak layak. Hanya saja belum pernah melakukan pinjaman apapun,” ucapnya.
Adanya ICS, kata Irene, diharapkan data-data sekunder, baik dari pembiayaan telepon, BPJS, e-commerce, hingga pajak, bisa digunakan para penyakur kredit, sehingga pelaku UMKM bisa dipermudah mengakses kredit.
*Bentuk Konsorsium*
Yulius juga menjelaskan, bersama Kemenkeu, Kemenko Perekonomian, KemenKopUKM dan OJK (Otoritas Jasa Keuangan), akan segera membentuk konsorsium yang bertugas untuk mengatur, mengawasi, dan menentukan kriteria ICS sebagai pedoman perbankan.
Selanjutnya, konsep tersebut akan diusulkan dibahas dalam Rapat Koordinasi Komite Kebijakan Pembiayaan Pembiayaan bagi UMKM (Rakor Komjak).
Yulius juga menyebutkan beberapa contoh negara yang sudah menerapkan ICS dan didukung oleh kebijakan, serta infrastruktur data yang terintegrasi. Di antaranya, Inggris, India, Korea Selatan (Korsel), China, dan Amerika.
“Di Inggris ini berhasil meningkatkan persetujuan kredit sebesar 14 persen, tanpa meningkatkan risiko NPL sebagaimana studi empiris pada kerja sama Aire (ICS) dan Experian,” ujarnya.
Di India, ICS berhasil meningkatkan inklusi keuangan masyarakat, dari 40 persen meningkat menjadi 80 persen masyarakat yang bankable dan berpotensi mengakses kredit.
Kemudian di Korsel, ICS berhasil meningkatkan inklusi keuangan masyarakat, di mana sebesar 95 persen masyarakat memiliki akun bank dan berpotensi mendapat akses kredit.
Selain itu, ICS juga telah berhasil meningkatkan penyaluran kredit sebesar 15 persen dan mengurangi risiko NPL sebesar 12 persen dengan proses yang lebih efektif dan efisien. (Studi empiris pada Lenddo/ICS).
Di China, konsep ini berhasil membantu meningkatkan akses kredit bagi masyarakat yang unbankable, terutama masyarakat pedesaan.
Dan di Amerika Serikat, berhasil meningkatkan persetujuan kredit 20 persen dengan tetap menjaga tingkat NPL yang sama. (Studi empiris pada FICO Score). (Red)
*Jakarta, 19 September 2024*
*Humas Kementerian Koperasi dan UKM*
*Medsos resmi: @Kemenkopukm*