Gus Din: Pembentukan Koalisi Parpol di Pilpres, Memungkinkan 4 Pasang Calon dan Bisa Terjadi 2 Putaran
Partai UKM Indonesia: Poros Koalisi Parpol di Pilpres, Buka Ruang Pilpres Dua Putaran
Jakarta – Pembentukan poros koalisi partai politik (parpol) mendekati Pilpres 2024 dimungkinkan membuka ruang akan lahir 4 kandidat pasang calon presiden dan calon wakil presiden. Selain itu juga membuka ruang Pilpres menjadi dua putaran, karena dimungkinkan tidak ada suara mayoritas 50 persen plus.
Hal ini disampaikan Syafrudin Budiman SIP Ketua Umum DPP Partai UKM Indonesia, dalam keterangan persnya di Jakarta, Minggu (19/06/2022). Kata Gus Din sapaan akrabnya, poros parpol ini juga akan menguatkan Sistem Presidential dalam demokrasi Pilpres 2024.
“Sistem presidensial dalam ruang demokrasi Pilpres 2024 akan semakin kuat. Sebab, semakin banyak pasangan kandidat lebih dari dua calon presiden dan calon wakil presiden. Sehat kan demokrasi kita,” ujar Gus Din, Sarjana Ilmu Politik lulusan Fisipol Universitas Wijaya Kusuma Surabaya (UWKS) ini.
Menurutnya, dengan dideklarasikannya Poros Kebangkitan Indonesia Raya (KIR) dari Partai Gerindra dan PKB, dan Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) dari Partai Golkar, PAN dan PPP menandakan dinamika politik sangat dinamis. Kata Gus Din, walau bisa pecah di akhir-akhir pendaftaran, namun hal ini menjadi bukti akan banyak kandidat yang maju.
“Sudah benar ada Koalisi KIR dan KIB. Dua koalisi ini sudah bisa mengusung capres-cawapres. Nanti PDIP maju sendiri dan selanjutnya Nasdem, PKS dan Demokrat bisa bersatu juga. Dipastikan akan ada 4 pasangan capres-cawapres nantinya,” jelas Syafrudin Budiman yang dikenal sosok aktivis pergerakan dan intelektual muda.
Terakhir kata Konsultan Media dan Politik ini, adanya koalisi KIR, KIB, PDI Perjuangan atau koalisi Nasdem, PKS dan Demokrat mengarah ke 4 pasang capres-cawapres.
“Kalau ini bertahan sampai tahap pendaftaran capres-cawapres sangatlah bagus bagi demokrasi di Indonesia. Rakyat bisa memilih kandidat yang terbaik sesuai pilihan masyarakat itu sendiri,” pungkas Syafrudin Budiman dengan lugas.
Dua Kali Pilpres Langsung di Indonesia, Pilpres Terjadi Dua Putaran
Bangsa Indonesia selalu menggelar pemilu presiden (pilpres) setiap 5 tahun sekali. Pilpres pertama diselenggarakan pada 2004. Saat itu, untuk pertama kalinya dalam sejarah, rakyat Indonesia dapat memilih langsung presiden dan wakil presiden melalui pemilihan umum.
Sebelumnya, presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR yang anggota-anggotanya dipilih melalui presiden. Di Indonesia, pemilu presiden digelar dengan sistem mayoritarian dua putaran atau majoritarian two round system.
Ketentuan tentang sistem pilpres di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 6A Ayat (3) dan (4).
Pasal 6A Ayat (3) berbunyi, “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden”.
Kemudian, pada Pasal 6A Ayat (4) dijelaskan, “Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden”.
Kata Syafrudin Budiman, calon presiden dan wakil presiden harus mengantongi suara minimal 50 persen plus 1 untuk dinyatakan menang pilpres. Namun, apabila tidak ada satu pun dari pasangan calon yang mendapatkan suara 50 persen plus 1, maka harus digelar pilpres putaran kedua.
“Sistem itulah yang disebut sebagai mayoritarian dengan dua putaran atau majoritarian two round system,” jelas pria asal Sumenep Jawa Timur ini.
Katanya, sistem mayoritarian berbeda dengan pluralitas. Pluralitas merupakan sistem pemilu yang menetapkan pemenang pilpres berdasarkan perolehan suara terbanyak murni, berapa pun suara yang diperoleh pasangan calon.
Sedangkan kalau sistem pemilu mayoritas, maka dia harus memperoleh suara mayoritas yaitu 50 persen plus 1. Mayoritas bukan hanya suara terbanyak, tapi mayoritas yang memperoleh 50 persen plus 1, artinya dia mengungguli yang lain.
“Dulu pilpres pernah digelar sebanyak dua putaran pada tahun 2004. Saat itu, pada putaran pertama, tak ada satu pun pasangan calon presiden dan wakil presiden yang mendapat suara 50 persen plus 1, ” imbuhnya.
Pilpres putaran pertama digelar pada 5 Juli 2004 dan diikuti oleh 5 pasangan calon, yakni: Wiranto dan Salahuddin Wahid, Megawati Soekarnoputri dan Hasyim Muzadi, Amien Rais dan Siswono Yudo Husodo, Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla dan pasangan Hamzah Haz dan Agum Gumelar.
“Adapun pilpres putaran kedua digelar 2 bulan setelahnya, yaitu 20 September 2004. Putaran kedua mempertemukan dua pasangan calon yang mendapatkan suara terbanyak pertama dan kedua pada saat putaran pertama, yakni pasangan Megawati Soekarnoputri dan Hasyim Muzadi dengan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla,” ungkapnya.
Terus kata Gus Din, Pilpres putaran kedua itu dimenangkan oleh SBY-Jusuf Kalla dengan perolehan suara 69.266.350 atau 60,62 persen. Pelaksanaan Pilpres ini juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, khususnya Pasal 168 Ayat (1).
Dalam pasal tersebut dikatakan bahwa, “Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai satu kesatuan daerah pemilihan”.
“Ketentuan ini jelas mengatakan, yang memiliki hak suara untuk memilih calon presiden dan presiden tidak hanya warga negara Indonesia yang memenuhi syarat yang ada di dalam negeri, tetapi juga WNI di luar negeri,” pungkas Kordinator Pendiri Partai UKM Indonesia ini. (red)