Jakarta – Institusi Polri dan Kejaksaan Agung secara bersamaan merilis kinerja pengarusutamaan pendekatan restorative justice (RJ) dalam penanganan perkara pidana. Polri merilis 11.811 kasus diselesaikan dengan pendekatan RJ sepanjang tahun 2021 dan Jaksa Agung merilis 53 kasus sepanjang Januari 2022.
Menurut Hendardi Ketua SETARA Institute saat diwawancarai Syafrudin Budiman SIP wartawan senior, Kamis pagi (27/01/2022) mengatakan, langkah dua institusi penegak hukum ini merupakan salah satu ikhtiar.
“Dalam penanganan problem akut overcapacity lembaga pemasyarakatan, akibat orientasi penegakan hukum yang memusat pada tujuan retributif. Dimana hanya menggunakan format keadilan pembalasan yang berujung pemidanaan. Hal ini harus dilaksanakan penegakan hukum dengan pendekatan restorative justice (RJ),” kata Hendardi.
Menurutnya, ikhtiar serupa sempat didorong oleh berbagai kalangan untuk menyusun suatu regulasi setingkat Peraturan Presiden tentang Reorientasi Penyidikan Perkara Pidana di Kepolisian. Tetapi kata Hendardi sampai saat ini tidak tuntas.
“Penerapan RJ tanpa ketentuan yang jelas dan penerapan yang akuntabel sangat rentan dan bisa menjadi instrumen transaksional. Kekhawatiran ini juga yang diingatkan oleh Kapolri agar keadilan restoratif tidak menjadi ajang transkasional,” jelas Hendardi.
Kata Advokat HAM dan Demokrasi ini, pekerjaan selanjutnya dari Polri adalah bagaimana institusi ini bisa mengontrol penerapan pendekatan ini. Sehingga tidak menjadi ruang negosiasi pihak berperkara dan
memastikan penerapannya selektif, berkeadilan dan akuntabel.
Sedangkan di Kejaksaan Agung, yang juga memiliki aturan tersendiri, RJ bisa dimaknai sebagai koreksi atas langkah kepolisian, yang terlanjur melakukan proses penyidikan atas suatu perkara. Padahalb diselesaikan dengan dengan pendekatan keadilan restoratif.
Sebagai pengendali kebijakan penuntutan, sesuai asas dominus litis. Peran Kejaksaan sangat strategis untuk memastikan, bahwa limpahan perkara dari kepolisian bukanlah sesuatu yang taken for granted.
“Dengan demikian, penerapan RJ di tubuh Kejaksaan berkontribusi signifikan pada penguatan sistem peradilan pidana. Untuk memperkuat penerapan keadilan restoratif ini, sejumlah regulasi perlu disusun, sambil menunggu pengaturan yang lebih kokoh sebagaimana telah direncanakan diadopsi dalam RUU KUHAP,” tandas Hendardi.
Terakhir kata Hendardi, Prinsip RJ bukan hanya mengandalkan diskresi Kapolri atau Jaksa Agung, tetapi harus berpedoman pada ukuran-ukuran yang disepakati. Sehingga potensi-potensi abusif atas pendekatan ini bisa dihindari.
“Kalau aturan RJ diperjelas, prakteknya akan menjadi kuat dan tidak terjadi praktek penyalahgunaan (abusif) penegak hukum. Baik dari tingkat bawah sampai atas,” pungkas Hendardi. (red)
Penulis: RB. Syafrudin Budiman SIP