Seolah tiada habisnya persoalan spekulasi politik tingkat tinggi di Badan Usaha Milik Negara (BUMN), baik persoalan pengaturan aturan main. Sehingga munculnya skandal main mata dalam mengondisikan proses dagang Perusahan plat merah.
Rentetan persoalan di tubuh BUMN tersebut seolah hendak menunjukkan adanya persoalan sistematik yang menjadi pandemi di tubuh BUMN. Badan Usaha Milik Negara ini memang secara politik memiliki mitra strategis di DPR RI pada komisi 7.
Dimana mitra tersebut memiliki fungsi dan tugas melakukan kontrol manajerial maupun kebijakan, akan tetapi kebobrokan kelola BUMN bukan hanya persolan matimatika politik, akan tetapi seperti bagi-bagi kue diantara para pemimpin negeri.
Banyak Persoalan yang sudah mulai nampak, seperti sangat sulitnya proses perijinan hak usaha dagang yang bersumber dari BUMN, hingga bukan rahasia umum terkait jatah titik agen gas bagi Anggota DPR RI maupun pejabat pemerintah yang biasa diajak ngopi oleh Pengusaha kartel besar.
Memang ibaratkan cermin, bobroknya tatakelola BUMN ini seperti berkamuplase terus dengan persoalan-persoalan lainnya, seperti persoalan PT. Asabri (persero) untuk priode 2012-2019, dengan dugaan kerugian keuangan negara sebesar 22,7 Triliun.
Selain jumlah kerugian yang begitu besar dan sangat pantastis tersebut, kasus perkasus selalu memiliki benang merah, yakni selalu terdapat dari direksi dan petinggi BUMN.
Sebagai sebuah rentetan panjang yang banyak melibatkan Petinggi BUMN, diantaranya sebut saja kasus dugaan projek fiktif oleh lima petinggi PT. Waskita Karya (Persero) Tbk yang telah di tangani KPK, termasuk runtuhnya beberapa raksasa BUMN baru-baru ini.
Kita Apresiasi betul Core Volume “AKHLAK” yang merupakan singkatan dari Amanah, Komputen, Loyal, Adaptif, Kolaboratif di Kementerian dan Perusahaan BUMN.
Akhlakpun Juga memiliki arti prilaku santun dan bisa menjadi cermin dan contoh bagi masyarkat. Sejalan pernyataan Peneliti Pusat Kajian, Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman yang berpandangan, bahwa kultur BUMN secara umum belum banyak berubah, korupsi masih kental mewarnai, apalagi dengan sistem pengawasan yang dilihatnya masih lemah.
Memang menjadi persoalan terkait main mata diatara pejabat negara ini, sehingga untuk bisa menjadi mitra dagang BUMN saja mesti memiliki energi lebih, karena terlalu besar kosnya, dengan jumlah yang terlihat pantastis.
Apalagi kentalnya kepentingan politik praktis antara lembaga monitoring dan badan usaha negara, juga berimbas pada penempatan politis untuk jabatan komisaris atau direksi BUMN.
Seharusnya memang BUMN sebagai sebuah badan usaha negara mampu mencerminkan Tujuan BUMN tersebut, yaitu sebagai usaha mewujudkan kesejahteraan rakyat, serta untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Apalagi merujuk pada UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN adalah turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat.
Sungguh ironi memang aturan tinggal tulisan diatas kertas, hal ini terlihat dari begitu sulitnya masyarakat menjangkaunya.
Semangat yang dibangun bangsa Indonesia dari semangat sebuah keadilan bagi seluruh rakyat indonesia secara ekonomi, sehingga segala usaha negara selayaknya pengelolaannya mesti memberikan ruang yang sama bagi seluruh masyarakat, kegiatan monopoli dagang yang telah di berikan oleh Undang-undang semestinya tidak dijadikan alat bagi-bagi kue dan semata-mata untuk mencari keuntungan.
Mesti disadari bersama bahwa poltik main mata dalam mengelola usaha negara pasti akan menimbulkan persoalan, apalagi sampai menempatkan pejabat BUMN hanya berdasarkan Asal dapat kue, sehingga kegiatan usahanya tidak mampu memberikan dampat peningkatan ekonomi sehingga terjadilah ketimpangan ekonomi di masyarakat.
(RED)