Jakarta – Organ-organ Negara di lingkungan Istana Negara (khususnya Mensesneg) harus menjadi instrumen yang kritis, obyektif, efektif dan kompeten. Terutama untuk menjaga dan memfilter informasi di lingkungan lembaga Kepresidenan.
Supaya Presiden Jokowi tidak terjebak dalam ide ugal-ugalan dan plintat plintut untuk merekrut 56 pegawai KPK, yang tidak lolos TWK menjadi ASN pada Bareskrim Mabes Polri.
Pernyataan ini disampaikan, Peter Selestinus Koordinator TPDI dan Advokat Peradi kepada media, Kamis (30/09/2021) di Jakarta.
“Gagasan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk merekrut 56 pegawai KPK yang tak lolos TWK, menjadi kontraproduktif. Sebab ini menunjukan adanya anomali dalam tata-kelola ASN,” katanya.
Menurut Petrus, direkrutnya pegawai KPK yang tak lulus TWK mennjadi ASN pada Direktorat Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di Bareskrim. Tentu ini adalah gagasan yang tidak memberi solusi bagi penciptaan iklim ASN yang berwawasan kebangsaan.
“Jika saja alasan Kapolri merekrut 56 pegawai KPK yang tidak lolos TWK, guna memenuhi kebutuhan dan pengembangan organisasi Polri. Maka ini juga memberi kesan seakan-akan masing-masing Institusi negara memiliki hukumnya sendiri. Sehingga dengan mudah membalikan telapak tangan dan mengabaikan TWK dari Menpan-RB, BKN, Menkum HAM dan KPK,” jelasnya.
Kata Petrus, Presiden Jokowi dan organ-organnya di Istana tidak boleh menyerah kepada desakan kekuatan massa (yang juga tidak banyak), dengan mengabaikan hukum positif yang berlaku dan proses hukum yang sedang atau akan berlangsung. Istana tidak boleh menjadi biang kerok kebijakan yang plintat plintut.
“Jangan sepelekan dukungan publik terhadap TWK oleh mayoritas yang diam. Presiden Jokowi jangan berubah sikap hanya karena tekanan massa,” ucapnya.
Tidak Lolos TWK Berlaku Bagi Semua
Petrus Selestinus mengatakan, Sebagai Kapolri, Jenderal Listyo Sigit Prabowo mestinya taat azas dan tunduk pada sistem norma, standar, kriteria dan prosedur. Dimana sebagai suatu kebijakan yang baku dalam satu sistem hukum ASN.
“Alasan Jenderal bahwa institusi Polri membutuhkan 56 Pegawai KPK yang tidak lolos TWK untuk tugas-tugas tertentu di Bareskrim dengan menjadikan mereka ASN tidak dibenarkan. Tentu ini sebagai gagasan yang menghina BKN, Menpan-RB, Menkum HAM dan Pimpinan KPK,” tandasnya.
Menurutnya, Kepolisian RI merupakan sebuah organisasi besar dan utama negara dalam Penegakan Hukum dan Ketertiban Umum. Maka gagasan merekrut 56 Pegawai KPK yang tidak lolos TWK menjadi ASN, sebagai langkah tidak cerdas, tidak taat azas bahkan merusak sistem hukum.
Apalagi kata Petrus, pada saat yang sama soal wawasan kebangsaan di semua institusi negara, saat ini sedang berada dalam ujian berat. Dimana faktanya sudah sudah merambah dan terpaparnya radikalisme pada sejumlah ASN.
Yang mana cepat atau lambat akan merusak prinsip Nilai Dasar, Kode Etik dan Pedoman Perilaku ASN yang menjadi prinsip dalam kerja ASN.
“Dengan demikian, jika seseorang tidak lolos TWK untuk menjadi ASN pada salah satu organ negara. Maka ia juga tidak boleh menjadi ASN pada organ negara manapun lainnya termasuk di Polri,” tegasnya.
Katanya, Istana dan Kapolri harus ingat bahwa dalam setiap kegiatan Pelayanan Publik oleh ASN ada misi negara, dan misi negara itu adalah untuk menjaga Integrasi nasional. Akibat banyaknya prosentase terpaparnya radikalisme dan intoleransi di kalangan ASN.
“Pertanyaan yang mengganjal bagi kita semua, sepenting apakah 56 orang ini bagi kepentingan umum dan untuk bangsa ini. Sehingga TWK harus dikorbankan begitu saja,” ujar Petrus bertanya.
Terpapar Radikalisme di Tubuh Polri
Petrus Selestinus menambahkan bahwa, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo harus menyadari bahwa persoalan TWK adalah persoalan yang menyangkut kepentingan dan program strategis nasional. Dimana menuntut setiap insan ASN harus memegang teguh prinsip Nilai Dasar dan Kode Etik, serta Pedoman Perilaku ASN pada institusi negara manapun.
“Institusi Polri bukan keranjang sampah besar untuk menampung sampah dan limbah dari residu kebijakan negara dalam mengelola ASN,” ungkapnya.
Salah satu contoh, peristiwa penganiayaan tahanan Mohammad Kace oleh tahanan Irjenpol Napoleon Bonaparte bersama para mantan pentolan FPI di Rutan Bareskrim Polri, harus menjadi catatan penting bagi Kapolri. Yang mana ada hal yang tidak beres di dalam Institusi Polri.
“Ada soal yang substantif terkait Nilai Dasar, Kode Etik dan Pedoman Perilaku di internal Polri saat ini. Dimana muncul sikap intoleran dan main hakim sendiri, seorang Irjenpol sebagai tahanan di Rutan Bareskrim Polri. Hal ini akibat rendahnya atau terjadi defisit wawasan kebangsaan di kalangan Perwira Polri” tunjuknya.
Karena itu kata Petrus, Kapolri dan jajarannya termasuk Kompolnas seharusnya memantau bagaimana sikap dan perilaku 56 Pegawai KPK yang tidak lolos TWK. Dimana selama hampir 1 tahun ini, menggambarkan perilaku minusnya wawasan kebangsaan.
“Semua rahasia dapur KPK, BKN, Menpan-RB dan Menkum HAM diumbar ke publik, seakan-akan tidak ada lagi sarana untuk dialog secara santun dan beradab,” katanya.
Terakhir kata Petrus, sikap intoleran dan melanggar hukum yang dipertontonkan oleh Irjen Pol. Napoleon Bonaparte, hal itu terhubung dengan persoalan begitu rendahnya wawasan kebangsaan seseorang ASN. Termasuk terlibatnya Irjen Pol Napoleon Bonaparte dalam kasus korupsi.
“Karena itu gagasan merekrut kembali 56 orang Pegawai KPK yang tidak lolos TWK menjadi ASN harus ditolak. Sekalipun direstui oleh Presiden Jokowi, Mensesneg dll. Jangan sampai pemerintah terjebak dalam irama permainan Novel Baswedan dkk, dalam polemik panjang yang dimainkan selama ini,” pungkas Petrus mengingatkan.
(red)