Jakarta, 11-03-2021
SBY menempatkan anaknya yang tidak berpengalaman Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menjadi Ketua Umum sehingga menyebabkan terjadinya krisis kepemimpinan di Partai Demokrat. Kepemimpinan AHY yang rapuh, sewenang-wenang, dan menjaga jarak dengan para kader terutama pengurus daerah dan cabang, menyebabkan penyumbatan aspirasi dan kebuntuan komunikasi, sehingga kader-kader di daerah menginginkan Kongres Luar Biasa (KLB) segara dilaksanakan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Sejak SBY menjadi Ketua Umum Partai Demokrat, SBY memungut iuran wajib per bulan dari anggota legislatif, hal ini menyakiti hati para kader yang telah berdarah-darah berjuang mendapatkan kursi legislatif untuk membesarkan Partai Demokrat. DPP Partai Demokrat sebelum SBY tidak pernah memungut iuran dari para kader. Lebih parah lagi SBY tidak pernah membuat laporan keuangan. Tidak ada akuntabilitas sama sekali, termasuk KLB PD 2015 dan Kongres PD 2020 juga tidak memberikan pertanggungjawaban laporan keuangan.
Puncaknya terjadi pada Kongres 2020 berupa pelanggaran terhadap UU Partai Politik No.2 tahun 2008 dan UU Partai Politik No. 2 tahun 2011 yang ditandatangani sendiri oleh Presiden SBY. Antara lain: pertama AD/ART dibuat di luar Kongres, kedua SBY menjadikan dirinya sebagai penguasa tunggal partai dengan jabatan sebagai Ketua Majelis Tinggi yang memiliki kewenangan melebihi kedaulatan anggota partai.
SBY membangun tirani politik sebagai penguasa tunggal guna mempertahankan dinastinya melalui AD/ART yang mematikan demokrasi dan hak-hak anggota. AD/ART tersebut dibuat sehingga tidak memungkinkan selain KMT (Ketua Majelis Tinggi) untuk membuat keputusan tentang : KLB, Calon Ketua Umum, Pejabat Ketua Umum, Pejabat Majelis Tinggi, calon Presiden, calon Ketua DPR, penentuan koalisi partai dalam Pilpres, penentuan calon gubernur.
SBY memberikan kekuasaan absolut kepada AHY sebagai Ketua Umum PD untuk: menunjuk dan memberhentikan pengurus DPD, DPC, calon bupati dan walikota, menentukan koalisi pilkada di daerah.
Bangunan tirani kekuasaan absolut keluarga tergambar sebagai berikut yang mencerminkan bukti kudeta terhadap kewenangan anggota dan kader partai: SBY sebagai Ketua Majelis Tinggi dan AHY sebagai Wakil Ketua Majelis Tinggi dan AHY sebagai Ketua Umum, sedangkan Eddie Baskoro Yudhoyono (Ibas) sebagai Wakil Ketua Umum, dan Ibas sebagai Ketua Fraksi Demokrat DPR RI, dan merangkap sebagai Wakil Ketua Badan Anggaran DPR mewakili Fraksi Partai Demokrat.
Semua kesewenang-wenangan SBY dan penyalahgunaan wewenang dalam bentuk AD/ART dan Peraturan Organisasi (PO) yang melanggar UU parpol tersebut dibatalkan dan dianulis dalam KLB Deliserdang, dan dikembalikan sesuai dengan UU Parpol yakni AD/ART tahun 2005 yang demokratis, akuntabel, transparan, yang memberikan ruang untuk berpartisipasi dan berkiprah dalam partai. Yang lebih penting lagi, secara moral dan etika politik, KLB Deliserdang diselenggarakan oleh kader Demokrat untuk meruntuhkan dan menghancurkan tirani yang dibangun oleh SBY dan AHY.
Untuk menghancurkan tirani dan politik dinasti SBY yang melanggar aturan etika dan hukum, maka KLB Deli Serdang meminta dan meminang Jenderal (Purn.) DR Haji Moeldoko, S.I.P untuk memimpin perjuangan sebagai Ketua Umum Partai Demokrat yang demokratis, terbuka, modern, akuntabel, dan bermartabat.
(Slamet)